Home / All post
"Life was like a box of chocolates. You never know what you're gonna get."
Alhamdulillah, segala puji hanya milik-NYA, atas segala karunia nikmat yang DIA berikan..yang kuketahui dan yang tidak kuketahui.
Shalawat beriring salam..kepada baginda rasulullah SAW..
Film FORREST GUMP, begitu menginspirasi. Sosok sederhana, so simple...hidupnya untuk sekarang, buat untuk nanti...ia melakukan apa yang mau ia lakukan, tanpa berfikir terlalu banyak bla - bla nya. Di jaman sekarang ini, sulit menemukan orang seperti Forrest Gump..seperti saya termasuk di dalamnya. Ia selalu meng-quoute kata ibunda tercinta.. " My momma always said, "Life was like a box of chocolates. You never know what you're gonna get."
Forrest Gump tidak pernah ada bayangan, ia bakal menjadi orang kaya, dengan kepolosannya, dan keterbatasan IQ nya... semuanya hanya lewat semboyan itu. Disaat mendapatkan itu pun, biasa - biasa saja. Jujur..buat saya, semboyan hidup Forrest Gump, jika ditafakuri, itu qurani... karena sehebat apapun manusia menduga, tidak ada yang jauh lebih hebat dari kemahadahsyatan Allah dalam memutuskan sesuatu, menentukan takdir seseorang. Allah Yang Maha Pengatur..sudah dengan Maha Rapihnya mengatur kehidupan seseorang, dalam kerahasiaanNYA. Forrest Gump, menjadi orang yang sukses, walau ia tidak tau bahwa ia adalah orang sukses... sehingga tidak membuatnya besar kepala...semua ditanggapi adem ayem, biasa-biasa saja.
Alangkah indahnya hidup ini, jika bisa terus mengikuti ketetapanNYA..rela diatur olehNYA. Akal mempunyai keterbatasan untuk berfikir terlalu pusying, memikirkan hari esok akan seperti apa. Sesungguhnya, manusia itu merugi jika ikut campur urusanNYA terlalu dalam..istilah gaul sekarang, "cape' dehh'...
Seperti contohnya, disaat sedang mengajari si sulung ujian, kadang terbersit panjang angan2..apakah adik2nya si kembar mampu kah mengikuti pelajaran yang sulit2, seperti kakaknya..apakah mereka bisa menyerap pelajaran nantinya?..kadang pusing sendiri. Padahal..masih jauh..sudah dipikirkan, itu merugikan diri sendiri. Aku nulis ini, untuk menyadar-nyadarkan diri saya, tiada yang tau..semua sudah diaturNYA..
Kemampuan ku sebatas berikhtiar, tanpa melihat hasil..
Kecenderungan manusia, termasuk yang nulis, kadang sering melirik hasil dalam melakukan sesuatu, sehingga akhirnya jadi pusing kepala sendiri. Semoga Allah memudahkan jalannya..menjadi orang yang simpel, sederhana.. ga terlalu banyak mikir..JUST DO IT THE BEST in a simple way..
Berikan jalan ya robbi..sebagaimana..panutanku.. baginda rasulullah dengan segala kesederhanaannya, tapi beliau adalah manusia termulia disisi ALlah dan sisi manusia hingga akhir zaman nanti... amiiin..
Kisah Sufi : Nabi Musa as dan Penggembala (Inspiring Me Much..)
(Taken from Facebook)
Sahabatku rahimakumullah,
Dalam dunia Tasawuf memang dipenuhi banyak cerita-cerita sufi, tokoh Nabi Musa as dan Nabi Isa as sering kali dikisahkan. Berikut ini salah satu kisah Nabi Musa as dan Gembala yang menarik untuk kita resapi tentang kecintaan manusia kepada Tuhan. Tentu saja cerita sufi ini tidak ada dan tidak diceritakan dalam hadist Rasulullah ataupun Al Qur'an. Jadi dalam memahami diperlukan kearifan dengan kacamata sufisme.
Dikisahkan pada zaman Nabi Musa as, hiduplah seorang penggembala yang bersemangat bebas. Ia tidak punya uang dan tidak punya keinginan untuk memilikinya. Yang ia miliki hanyalah hati yang lembut dan penuh keikhlasan. Hati yang berdetak dengan kecintaan kepada Tuhan.
Sepanjang hari ia menggembalakan ternaknya melewati lembah dan ladang melagukan jeritan hatinya kepada Tuhan yang dicintainya, “Duhai Pangeran tercinta, di manakah Engkau, supaya aku dapat persembahkan seluruh hidupku pada-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku dapat menghambakan diriku pada-Mu? Wahai Tuhan, untuk-Mu aku hidup dan bernafas. Karena berkat-Mu aku hidup. Aku ingin mengorbankan domba-Ku ke hadapan kemuliaan-Mu.”
Suatu hari, Nabi Musa as melewati padang gembalaan tersebut dalam perjalanannya menuju kota. Ia memperhatikan sang gembala yang sedang duduk di tengah ternaknya dengan kepala yang mendongak ke langit.
Sang gembala menyapa Tuhan, “Ah, di manakah Engkau, supaya aku dapat menjahit baju-Mu, memperbaiki kasut-Mu, dan mempersiapkan ranjang-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku dapat menyisir rambut-Mu dan mencium kaki-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku dapat mengilapkan sepatu-Mu dan membawakan air susu untuk minuman-Mu?”
Nabi Musa as mendekati gembala itu dan bertanya, “Dengan siapa kamu berbicara?”
Gembala menjawab, “Dengan DIA yang telah menciptakan kita. Dengan Dia yang menjadi Tuhan yang menguasai siang dan malam, bumi dan langit.”
Nabi Musa as murka mendengar jawaban gembala itu, “Betapa beraninya kamu bicara kepada Tuhan seperti itu! Apa yang kamu ucapkan adalah kekafiran. Kamu harus menyumbat mulutmu dengan kapas supaya kamu dapat mengendalikan lidahmu. Atau paling tidak, orang yang mendengarmu tidak menjadi marah dan tersinggung dengan kata-katamu yang telah meracuni seluruh angkasa ini. Kau harus berhenti bicara seperti itu sekarang juga karena nanti Tuhan akan menghukum seluruh penduduk bumi ini akibat dosa-dosamu!”
Sang gembala segera bangkit setelah mengetahui bahwa yang mengajaknya bicara adalah seorang nabi. Ia bergetar ketakutan. Dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya, ia mendengarkan Musa as yang terus berkata, “Apakah Tuhan adalah seorang manusia biasa, sehingga Ia harus memakai sepatu dan alas kaki? Apakah Tuhan seorang anak kecil, yang memerlukan susu supaya Ia tumbuh besar? Tentu saja tidak. Tuhan Maha Sempurna di dalam diri-Nya. Tuhan tidak memerlukan siapa pun. Dengan berbicara kepada Tuhan seperti yang telah engkau lakukan, engkau bukan saja telah merendahkan dirimu, tapi kau juga merendahkan seluruh ciptaan Tuhan. Kau tidak lain dari seorang penghujat agama. Ayo, pergi dan minta maaf, kalau kau masih memiliki otak yang sehat!”
Gembala yang sederhana itu tidak mengerti bahwa apa yang dia sampaikan kepada Tuhan adalah kata-kata yang kasar. Dia juga tak mengerti mengapa Nabi yang mulia telah memanggilnya sebagai seorang musuh tapi ia tahu betul bahwa seorang Nabi pastilah lebih mengetahui dari siapa pun. Ia hampir tak dapat menahan tangisannya.
Ia berkata kepada Musa, “Wahai Musa, Kamu telah menyalakan api di dalam jiwaku. Sejak saat ini aku berjanji akan menutup mulutku untuk selamanya.” Dengan keluhan yang panjang, ia berangkat meninggalkan ternaknya menuju padang pasir.
Dengan perasaan bahagia karena telah meluruskan jiwa yang tersesat, Nabi Musa as melanjutkan perjalanannya menuju kota. Tiba-tiba Allah swt, Tuhan Yang Maha Kuasa menegurnya, “Wahai Musa, mengapa engkau berdiri di antara Kami dengan kekasih Kami yang setia? Mengapa engkau pisahkan pecinta dari yang dicintainya? Kami telah mengutus engkau supaya engkau dapat menggabungkan kekasih dengan kekasihnya, bukan memisahkan ikatan di antaranya.”
Nabi Musa as mendengarkan kata-kata langit itu dengan penuh kerendahan dan rasa takut. Tuhan berfirman, “Kami tidak menciptakan dunia supaya Kami memperoleh keuntungan daripadanya. Seluruh makhluk diciptakan untuk kepentingan makhluk itu sendiri. Kami tidak memerlukan pujian atau sanjungan. Kami tidak memerlukan ibadah atau pengabdian. Orang-orang yang beribadah itulah yang mengambil keuntungan dari ibadah yang mereka lakukan. Ingatlah bahwa di dalam cinta, kata-kata hanyalah bungkus luar yang tidak memiliki makna apa-apa. Kami tidak memperhatikan keindahan kata-kata atau komposisi kalimat. Yang Kami perhatikan adalah lubuk hati yang paling dalam dari orang itu. Dengan cara itulah Kami mengetahui ketulusan makhluk Kami, walaupun kata-kata mereka bukan kata-kata yang indah. Buat mereka yang dibakar dengan api cinta, kata-kata tidak mempunyai makna.”
Suara Tuhan dari langit selanjutnya berkata, “Mereka yang terikat dengan basa-basi bukanlah mereka yang terikat dengan cinta. Dan umat yang beragama bukanlah umat yang mengikuti cinta. Karena cinta tidak mempunyai agama selain kekasihnya sendiri.” Tuhan kemudian mengajarkan Musa as rahasia cinta.
Setelah Nabi Musa as memperoleh pelajaran itu, ia mengerti kesalahannya. Sang Nabi pun merasa menderita penyesalan yang luar biasa. Dengan segera, ia berlari mencari gembala itu untuk meminta maaf. Berhari-hari Nabi Musa as berkelana di padang rumput dan gurun pasir, menanyakan orang-orang apakah mereka mengetahui gembala yang dicarinya. Setiap orang yang ditanyainya menunjuk arah yang berbeda. Hampir-hampir Nabi Musa kehilangan harapan tetapi akhirnya Musa as berjumpa dengan gembala itu. Ia tengah duduk di dekat mata air. Pakaiannya compang-camping, rambutnya kusut masai. Ia berada di tengah tafakur yang dalam sehingga ia tidak memperhatikan Musa yang telah menunggunya cukup lama.
Akhirnya, gembala itu mengangkat kepalanya dan melihat kepada sang Nabi. Musa as berkata, “Aku punya pesan penting untukmu. Tuhan telah berfirman kepadaku, bahwa tidak diperlukan kata-kata yang indah bila kita ingin berbicara kepada-Nya. Kamu bebas berbicara kepada-Nya dengan cara apa pun yang kamu sukai, dengan kata-kata apa pun yang kamu pilih. Karena apa yang aku duga sebagai kekafiranmu ternyata adalah ungkapan dari keimanan dan kecintaan yang menyelamatkan dunia.”
Sang gembala hanya menjawab sederhana, “Aku sudah melewati tahap kata-kata dan kalimat. Hatiku sekarang dipenuhi dengan kehadiran-Nya. Aku tak dapat menjelaskan keadaanku padamu dan kata-kata pun tak dapat melukiskan pengalaman ruhani yang ada dalam hatiku.” Kemudian ia bangkit dan meninggalkan Musa as.
Nabi Musa as menatap gembala itu sampai ia tak kelihatan lagi. Setelah itu Musa as kembali berjalan ke kota terdekat, merenungkan pelajaran berharga yang didapatnya dari seorang gembala sederhana yang tidak berpendidikan.
Sahabatku rahimakumullah
Cerita di atas melukiskan kepada kita bahwa ada orang sekelompok orang yang memaknai kecintaan kepada Tuhan dan mengungkapkan kata-kata cinta kepada Tuhannya. Ia mengambil cinta sebagai agamanya. Kalau seseorang telah meledakkan kecintaannya kepada Allah swt, dia tidak lagi dapat menemukan kata-kata yang tepat untuk melukiskan seluruh kecintaannya kepada Allah swt. Di dalam cinta, kata-kata menjadi tidak punya makna.
Dari kisah ini juga kita belajar bahwa untuk dapat mendekati Allah swt, tidak diperlukan kecerdasan yang tinggi atau ilmu yang sangat mendalam. Salah satu cara utama untuk mendekati Tuhan adalah hati yang bersih dan tulus. Tidak jarang pengetahuan kita tentang syariat membutakan kita dari Tuhan. Tidak jarang ilmu yang kita miliki justru menjadi hijab/tirai yang menghalangi kita dengan Allah swt.
Kita akhiri kisah ini dengan sabda Nabi saw, “Innallâha lâ yanzhuru illâ shuwarikum walakinallâha yanzhuru illâ qulûbikum. “Ketahuilah, sesungguhnya Allah tidak memperhatikan bentuk-bentuk luar kamu. Yang Allah perhatikan adalah hati kamu.”
Wallahualam bissawab.
---------------------------------------------------------------------------------
Kisah ini diceritakan oleh Kang Jalal dalam Kuliah2 Tasawuf Sabtu di Kemang tahun 2009 lalu.
Jakarta, 24 Maret 2010
Semoga Bermanfaat
Wassalamualaikum wr.wb
***
Diambil dari FB : Gus Im
Tafakkur - Opick
TAFAKKUR (soundtrack for my spiritual journey..)
Sejauh-jauh mata memandang
Sedalam dalam hati merasakan
Hanya setitik debu yang tertuang
Dalam syair pujian
Lepas hati memandang lautMu
Terheran diri pada langitMu
Berjuta kata tak cukup untuk melukis indahMu
Melihat bintang alangkah jauhmu
Melihat ibu alangkah dekatmu
Melihat hutan melihat gunung Siapa menjagamu
Mendengar tangis dalam deritamu
Rasakan luka di hari-harimu
Pada siapa airmata ini kan mengadu
Bumi akan sepi bangga sementara
Adakah tempat kembali adakah selain Allah
Langganan:
Postingan
(
Atom
)
Diberdayakan oleh Blogger.
You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "