Kisah Sufi : Nabi Musa as dan Penggembala (Inspiring Me Much..)


(Taken from Facebook)
Sahabatku rahimakumullah,
Dalam dunia Tasawuf memang dipenuhi banyak cerita-cerita sufi, tokoh Nabi Musa as dan Nabi Isa as sering kali dikisahkan. Berikut ini salah satu kisah Nabi Musa as dan Gembala yang menarik untuk kita resapi tentang kecintaan manusia kepada Tuhan. Tentu saja cerita sufi ini tidak ada dan tidak diceritakan dalam hadist Rasulullah ataupun Al Qur'an. Jadi dalam memahami diperlukan kearifan dengan kacamata sufisme.

Dikisahkan pada zaman Nabi Musa as, hiduplah seorang penggembala yang bersemangat bebas. Ia tidak punya uang dan tidak punya keinginan untuk memilikinya. Yang ia miliki hanyalah hati yang lembut dan penuh keikhlasan. Hati yang berdetak dengan kecintaan kepada Tuhan.

Sepanjang hari ia menggembalakan ternaknya melewati lembah dan ladang melagukan jeritan hatinya kepada Tuhan yang dicintainya, “Duhai Pangeran tercinta, di manakah Engkau, supaya aku dapat persembahkan seluruh hidupku pada-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku dapat menghambakan diriku pada-Mu? Wahai Tuhan, untuk-Mu aku hidup dan bernafas. Karena berkat-Mu aku hidup. Aku ingin mengorbankan domba-Ku ke hadapan kemuliaan-Mu.”

Suatu hari, Nabi Musa as melewati padang gembalaan tersebut dalam perjalanannya menuju kota. Ia memperhatikan sang gembala yang sedang duduk di tengah ternaknya dengan kepala yang mendongak ke langit.

Sang gembala menyapa Tuhan, “Ah, di manakah Engkau, supaya aku dapat menjahit baju-Mu, memperbaiki kasut-Mu, dan mempersiapkan ranjang-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku dapat menyisir rambut-Mu dan mencium kaki-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku dapat mengilapkan sepatu-Mu dan membawakan air susu untuk minuman-Mu?”

Nabi Musa as mendekati gembala itu dan bertanya, “Dengan siapa kamu berbicara?”

Gembala menjawab, “Dengan DIA yang telah menciptakan kita. Dengan Dia yang menjadi Tuhan yang menguasai siang dan malam, bumi dan langit.”

Nabi Musa as murka mendengar jawaban gembala itu, “Betapa beraninya kamu bicara kepada Tuhan seperti itu! Apa yang kamu ucapkan adalah kekafiran. Kamu harus menyumbat mulutmu dengan kapas supaya kamu dapat mengendalikan lidahmu. Atau paling tidak, orang yang mendengarmu tidak menjadi marah dan tersinggung dengan kata-katamu yang telah meracuni seluruh angkasa ini. Kau harus berhenti bicara seperti itu sekarang juga karena nanti Tuhan akan menghukum seluruh penduduk bumi ini akibat dosa-dosamu!”

Sang gembala segera bangkit setelah mengetahui bahwa yang mengajaknya bicara adalah seorang nabi. Ia bergetar ketakutan. Dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya, ia mendengarkan Musa as yang terus berkata, “Apakah Tuhan adalah seorang manusia biasa, sehingga Ia harus memakai sepatu dan alas kaki? Apakah Tuhan seorang anak kecil, yang memerlukan susu supaya Ia tumbuh besar? Tentu saja tidak. Tuhan Maha Sempurna di dalam diri-Nya. Tuhan tidak memerlukan siapa pun. Dengan berbicara kepada Tuhan seperti yang telah engkau lakukan, engkau bukan saja telah merendahkan dirimu, tapi kau juga merendahkan seluruh ciptaan Tuhan. Kau tidak lain dari seorang penghujat agama. Ayo, pergi dan minta maaf, kalau kau masih memiliki otak yang sehat!”

Gembala yang sederhana itu tidak mengerti bahwa apa yang dia sampaikan kepada Tuhan adalah kata-kata yang kasar. Dia juga tak mengerti mengapa Nabi yang mulia telah memanggilnya sebagai seorang musuh tapi ia tahu betul bahwa seorang Nabi pastilah lebih mengetahui dari siapa pun. Ia hampir tak dapat menahan tangisannya.

Ia berkata kepada Musa, “Wahai Musa, Kamu telah menyalakan api di dalam jiwaku. Sejak saat ini aku berjanji akan menutup mulutku untuk selamanya.” Dengan keluhan yang panjang, ia berangkat meninggalkan ternaknya menuju padang pasir.

Dengan perasaan bahagia karena telah meluruskan jiwa yang tersesat, Nabi Musa as melanjutkan perjalanannya menuju kota. Tiba-tiba Allah swt, Tuhan Yang Maha Kuasa menegurnya, “Wahai Musa, mengapa engkau berdiri di antara Kami dengan kekasih Kami yang setia? Mengapa engkau pisahkan pecinta dari yang dicintainya? Kami telah mengutus engkau supaya engkau dapat menggabungkan kekasih dengan kekasihnya, bukan memisahkan ikatan di antaranya.”

Nabi Musa as mendengarkan kata-kata langit itu dengan penuh kerendahan dan rasa takut. Tuhan berfirman, “Kami tidak menciptakan dunia supaya Kami memperoleh keuntungan daripadanya. Seluruh makhluk diciptakan untuk kepentingan makhluk itu sendiri. Kami tidak memerlukan pujian atau sanjungan. Kami tidak memerlukan ibadah atau pengabdian. Orang-orang yang beribadah itulah yang mengambil keuntungan dari ibadah yang mereka lakukan. Ingatlah bahwa di dalam cinta, kata-kata hanyalah bungkus luar yang tidak memiliki makna apa-apa. Kami tidak memperhatikan keindahan kata-kata atau komposisi kalimat. Yang Kami perhatikan adalah lubuk hati yang paling dalam dari orang itu. Dengan cara itulah Kami mengetahui ketulusan makhluk Kami, walaupun kata-kata mereka bukan kata-kata yang indah. Buat mereka yang dibakar dengan api cinta, kata-kata tidak mempunyai makna.”

Suara Tuhan dari langit selanjutnya berkata, “Mereka yang terikat dengan basa-basi bukanlah mereka yang terikat dengan cinta. Dan umat yang beragama bukanlah umat yang mengikuti cinta. Karena cinta tidak mempunyai agama selain kekasihnya sendiri.” Tuhan kemudian mengajarkan Musa as rahasia cinta.

Setelah Nabi Musa as memperoleh pelajaran itu, ia mengerti kesalahannya. Sang Nabi pun merasa menderita penyesalan yang luar biasa. Dengan segera, ia berlari mencari gembala itu untuk meminta maaf. Berhari-hari Nabi Musa as berkelana di padang rumput dan gurun pasir, menanyakan orang-orang apakah mereka mengetahui gembala yang dicarinya. Setiap orang yang ditanyainya menunjuk arah yang berbeda. Hampir-hampir Nabi Musa kehilangan harapan tetapi akhirnya Musa as berjumpa dengan gembala itu. Ia tengah duduk di dekat mata air. Pakaiannya compang-camping, rambutnya kusut masai. Ia berada di tengah tafakur yang dalam sehingga ia tidak memperhatikan Musa yang telah menunggunya cukup lama.

Akhirnya, gembala itu mengangkat kepalanya dan melihat kepada sang Nabi. Musa as berkata, “Aku punya pesan penting untukmu. Tuhan telah berfirman kepadaku, bahwa tidak diperlukan kata-kata yang indah bila kita ingin berbicara kepada-Nya. Kamu bebas berbicara kepada-Nya dengan cara apa pun yang kamu sukai, dengan kata-kata apa pun yang kamu pilih. Karena apa yang aku duga sebagai kekafiranmu ternyata adalah ungkapan dari keimanan dan kecintaan yang menyelamatkan dunia.”

Sang gembala hanya menjawab sederhana, “Aku sudah melewati tahap kata-kata dan kalimat. Hatiku sekarang dipenuhi dengan kehadiran-Nya. Aku tak dapat menjelaskan keadaanku padamu dan kata-kata pun tak dapat melukiskan pengalaman ruhani yang ada dalam hatiku.” Kemudian ia bangkit dan meninggalkan Musa as.

Nabi Musa as menatap gembala itu sampai ia tak kelihatan lagi. Setelah itu Musa as kembali berjalan ke kota terdekat, merenungkan pelajaran berharga yang didapatnya dari seorang gembala sederhana yang tidak berpendidikan.

Sahabatku rahimakumullah
Cerita di atas melukiskan kepada kita bahwa ada orang sekelompok orang yang memaknai kecintaan kepada Tuhan dan mengungkapkan kata-kata cinta kepada Tuhannya. Ia mengambil cinta sebagai agamanya. Kalau seseorang telah meledakkan kecintaannya kepada Allah swt, dia tidak lagi dapat menemukan kata-kata yang tepat untuk melukiskan seluruh kecintaannya kepada Allah swt. Di dalam cinta, kata-kata menjadi tidak punya makna.

Dari kisah ini juga kita belajar bahwa untuk dapat mendekati Allah swt, tidak diperlukan kecerdasan yang tinggi atau ilmu yang sangat mendalam. Salah satu cara utama untuk mendekati Tuhan adalah hati yang bersih dan tulus. Tidak jarang pengetahuan kita tentang syariat membutakan kita dari Tuhan. Tidak jarang ilmu yang kita miliki justru menjadi hijab/tirai yang menghalangi kita dengan Allah swt.

Kita akhiri kisah ini dengan sabda Nabi saw, “Innallâha lâ yanzhuru illâ shuwarikum walakinallâha yanzhuru illâ qulûbikum. “Ketahuilah, sesungguhnya Allah tidak memperhatikan bentuk-bentuk luar kamu. Yang Allah perhatikan adalah hati kamu.”

Wallahualam bissawab.
---------------------------------------------------------------------------------
Kisah ini diceritakan oleh Kang Jalal dalam Kuliah2 Tasawuf Sabtu di Kemang tahun 2009 lalu.

Jakarta, 24 Maret 2010

Semoga Bermanfaat
Wassalamualaikum wr.wb
***
Diambil dari FB : Gus Im

Tafakkur - Opick



TAFAKKUR (soundtrack for my spiritual journey..)

Sejauh-jauh mata memandang
Sedalam dalam hati merasakan
Hanya setitik debu yang tertuang
Dalam syair pujian

Lepas hati memandang lautMu
Terheran diri pada langitMu
Berjuta kata tak cukup untuk melukis indahMu

Melihat bintang alangkah jauhmu
Melihat ibu alangkah dekatmu
Melihat hutan melihat gunung Siapa menjagamu

Mendengar tangis dalam deritamu
Rasakan luka di hari-harimu
Pada siapa airmata ini kan mengadu

Bumi akan sepi bangga sementara
Adakah tempat kembali adakah selain Allah

KENAPA KLOP DENGAN MAHAKOSMOS – TERAPI HATI TERAPI IKHLAS


Alhamdulillah ya Allah, jari2 tangan ini, jiwa raga ini.. masih bisa diberi kesempatan, menuliskan isi hati, semoga Engkau meridhoi. Alhamdulillah, atas segala hal yang tak terkatakan, atas segala nikmat dari Engkau, yang kuketahui dan yang tidak kuketahui. Semoga suatu saat, diri ini bisa menjadi orang yang lebih banyak syukur dari hari ke hari. Sampaikan salam dan shalawat ku, kepada Nabi besarMu, kekasihMu yang paling mulia di bumi dan langit ciptaanMu, Nabi Muhammad SAW.

Proses demi proses kehidupan dalam mencari makna kebahagiaan yang hakiki, sesungguhnya ga ada yang kebetulan. Semua sudah diatur-Nya, sesuai dengan apa yang diharapkan hamba-Nya. Segala apa yang terjadi, adalah sesungguhnya jawaban doa dari-Nya, meskipun kadang didalamnya ada suka duka, bertumpus lumus, tangisan dan tawa, semoga terkumpul menjadi sebuah karunia yang tiada putusnya.

Bagi diri ini, yang sedang menjalani proses kehidupan, bukanlah hal mudah, untuk menjadi hamba-Nya yang lebih baik lagi. Kegagalan keberhasilan menghadapi sang nafsu dan setan yang ada pada diri ku, semoga menjadi pemicu untuk terus mencari formula yang terbaik disisi-Nya. Diri ini, yang puluhan tahun ber-Islam KTP, sedang berusaha, menggali makna keindahan dari Nya.. lewat pilihan ‘resep terbaik’, mengumpulkan bahan mentah, memasaknya hingga mendapatkan hidangan ilahiyah yang nikmat lezat dan indah dari-Nya.

Di workshop Mahakosmos ini, kutemukan salah satu resep terbaik dari-Nya. Di dalam diri manusia, tertanam suatu ‘microchip’ kehidupan, yang tertanam tahunan, puluhan tahunan, selama hidup, sehingga membentuk ‘someone’ termasuk diri ini, dengan plus minusnya. Yang menjadi permasalahan, disaat microchip yg usang ini, ternyata mengganggu si manusia, untuk melakukan perubahan. Kenapa ya aku susah sabar, kenapa ya aku susah bersyukur, kenapa masih iri, kenapa masih marah, dan kenapa-kenapa yang lain. Begitu juga, penyakit fisik yang diderita dari yang ringan hingga yang berat, from A to Z, semuanya ada asal muasalnya. Keinginan diri untuk berubah, dengan mengikuti pengajian pelatihan workshop dll dimana ingin menanamkan microchip yang baru, kenapa belum berbuah optimal..ada apa dibalik ini.. apakah karena masih tertanamnya 'microchip' yang usang..yang mana didalamnya begitu banyak sumbatan kesalahan, error dll..

Sebagaimana Allah berfirman, “Demikian itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak menganiaya hamba-Nya”(Al Anfaal:52). Namun pengecualian buat para kekasih Allah yang suci, yang diuji-Nya untuk menaikkan derajatnya disisi-Nya. Buat diri yang masih error ini, haruslah tahu diri, introspeksi satu menuju introspeksi berikutnya. Kenapa, sudah ikut pengajian, pelatihan from A to Z masih juga, ga berubah. Semuanya ada asal muasalnya, bukanlah salah pengajiannya, pelatihannya, salah workshopnya, salah trainernya, menyalahkan faktor diluar diri ini, karena sesungguhnya muaranya ada di dalam diri sendiri. Semakin dapat dirasakan, sebagaimana Rasulullah bersabda, “Di dalam diri manusia, ada segumpal ‘daging’, bila daging itu baik maka akan baik pula perilakunya. ‘Daging’ itu adalah kalbu”.

Lewat Workshop Mahakosmos, Terapi Hati Terapi Ikhlas, diri ini belajar berbenah diri, belajar mengosongkan ‘wadah’ yang penuh yang kadang meluber-luber. Belajar mengosongkan diri, membebaskan diri dari sumbatan-sumbatan kehidupan, segala persepsi, mbebaskan diri dari ke'AKU'an..alias ego-ego yang menggunungatas ijin-Nya. Kuncinya semua ada pada segumpal ‘daging’ itu. Yang ternyata, di segumpal 'daging' itulah, mempunyai rahasia untuk menghealing jiwa dan raga, itulah rahasia Mahakosmos..subhanallah..

Jujur, setelah dirasa-rasakan, buat diri ini, semboyan Mensana in corpori sano – Di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat. Seharusnya dibalik, bahwa di dalam ‘jiwa yang sehat, terdapat tubuh yang kuat’. (mohon maaf, buat yang pemahamannya berbeda, semua ini hanyalah rasa dari apa yang dirasakan diri ini, perbedaan itu rahmat..).

Lewat workshop ini, diri ini, diajarkan untuk mengenali ‘indera hati – sepotong ‘daging’ itu, hingga akhirnya ‘dapat membersihkan jiwa raga yang semuanya tidak ada yang instan, biarkanlah Dia atas ijin-Nya yang menentukan waktunya.

Di sini pula, diri yang suka error, yang sering mengalami kebingungan dalam memutuskan terhadap sesuatu, ternyata... di segumpal ‘daging’ itu, bisa merasakan jawaban-Nya. Sebagaimana rasulullah bersabda, “mintalah fatwa pada hatimu; kebaikan adalah sesuatu yang membuat hatimu tenang dan keburukan adalah sesuatu yang membuat hatimu gelisah”. (sekali lagi, sudilah memaafkan, jika ada berbeda pemahaman, semuanya ini hanyalah rasa dari apa yang dirasakan diri ini, perbedaan itu rahmat).

Lewat Mahakosmos pula, makna kehidupan hari demi hari semakin terasa. Diri ini terkesima dengan tanda-tanda kebesaranNya, begitu luarbiasa, Grand DesignNya menciptakan alam semesta ..bumi dan langit beserta isinya, dan semakin diri ini ‘selaras antara seluruh ormen jiwa raga di dalam diri ini’ insya Allah harmonis, dan alam semesta pun akan menyambut keharmonisan manusia itu sebagaimana bukti nyata yang ada pada nabi besar Muhammad SAW-Rahmatan lil alamiin. Begitu pula sebaliknya, jika belum menselaraskan terhadap apa yang diucapkan dengan apa yang ada di segumpal ‘daging’ itu, wajarlah, jika diri ini belum harmonis. Inilah makna ikhlas, yang menurut diri ini, subhanallah adanya, memudahkan alarm jiwa untuk berbunyi, sebagai tanda introspeksi diri dalam proses hari demi hari dalam kehidupan.

Hidup ini, adalah proses demi proses mengharmoniskan diri sebagaimana DiA tidak pernah menciptakan manusia dengan sia-sia, semuanya adalah ujung-ujungnya untuk kembali pada-Nya dengan jiwa yang tenang dan hati yang ridho dan diridhoi-Nya.

“Sebagaimana apa-apa yang ada dalam ciptaanNya selalu berpasang-pasangan, Allah sudah memasangkan masalah dengan solusinya – belum tentu apa yang dirasakan diri ini, bisa dirasakan juga oleh yang lain..semua kembali kepada rasa masing-masing...belum tentu juga klop sebagaimana yang dirasakan oleh diri ini. Sudilah memaafkan jika ada yang kurang berkenan, semua nya karena kesalahan diri ini, jikapun ada yang baik-baik, semuanya dari-Nya. Wallahualam bissawab

Spesial jazakallahu khairan katsiira..buat Mas Kris.. bukan hanya guru nya hati gurunya ikhlas.. tapi juga guru juga dalam menjalani kehidupan...dalam suka dukanya kehidupan.. alhamdulillah.


salam ikhlas... salam kasih&sayang...salam atas segala keindahanNya..atas sgl sesuatu..

(Dari seseorang alumni workshop Mahakosmos Terapi Hati Terapi Ikhlas, yang sedang belajar, kadang tertatih-tatih, kadang terjerembab, bingung.. masih jauuuh.. namun hanya satu hal... yang membuatnya survive.. karena kerinduannya menemukan keterkesimaan yang sejati..)
Diberdayakan oleh Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "